Senin, 02 Desember 2013

Implementasi Standar Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) masih "separoh hati"


Dalam rangka mendukung terciptanya Good Forestry Governance, Sustainable Forest Management, pemberantasan illegal logging dan menciptakan perdagangan kayu yang legal, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.68 /Menhut II/2011 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Permenhut No.68/2011 merupakan revisi dari peraturan sebelumnya yaitu Permenhut No. 38/Menhut-II/ 2009. SVLK melakukan penilaian dan verifikasi yang meliputi: (i) penilaian kinerja dan verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK berdasarkan standar penilaian PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi Lestari) yang diperuntukkan bagi pemilik IUPHHK; dan (ii) verifikasi legalitas kayu atas pemegang IUPHHK, IPK dan IUI Lanjutan serta pemilik Hutan Hak (Hutan Rakyat) berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu.

Indonesia telah mengalami serangkaian diskusi yang panjang bersama Uni Eropa dalam Forest Law Enforcement Governance and Trade- Voluntary Partnersip Agreement (FLEGT-VPA). FLEGT-VPA atau biasa disingkat dengan VPA adalah kesepakatan bilateral guna mencapai kata sepakat dalam persiapan-persiapan menuju perdagangan kayu legal. VPA telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa pada tanggal 5 Mei 2011 di Jakarta. Pada tahun 2013, FLEGT-VPA akan secara efektif menjadi trade-mark ekspor kayu legal Indonesia ke EU. Sebelum VPA efektif dilaksanakan, pemerintah Indonesia harus menyelesaikan beberapa point kesepakatan di dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA). Berdasarkan perjanjian bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa, pada bulan Maret 2012 akan diadakan uji coba ekspor kayu dari Indonesia ke Uni Eropa dengan menggunakan brand FLEGT-VPA. Uji coba ini akan menjadi muara usaha yang selama ini dilakukan oleh banyak pihak, baik pemerintah maupun non pemerintahan dalam menyebarluaskan SVLK dan tujuan baiknya. 

Dalam pelaksanaan SVLK yang efektif dan efisien, peran dari lembaga negara lain diluar Kementeriaan Kehutanan yaitu Kementeriaan Perindustriaan, Kementeriaan Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Kepolisian Negara RI serta Pemerintah daerah di tingkat provinsi cukup signifikan. Selaras dengan itu, lembaga negara terkait dan Pemerintah daerah dimaksud juga memiliki peraturan terkait pelaksanaan SVLK. Sebagai contoh, Kementeriaan Perdagangan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Perdagangan yaitu Permendag Nomor 20/M-DAG/PER/5/2008 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan. Untuk tingkat daerah atau provinsi, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat telah mengeluarkan Perda Nomor 8 tahun 2006 tentang Tata Niaga kayu Ulin di Kalimantan Barat. Peraturan-peraturan yang terkait dalam implementasi SVLK ini, selayaknya saling menunjang dan tidak bertentangan satu sama lain. Namun, dari pengalaman pelaksanaannya di lapangan, ditemukan bahwa peraturan-peraturan yang ada tidak saling melengkapi namun cenderung untuk menjadi penghambat pelaksanaan peraturan di satu pihak dengan peraturan di pihak lainnya.

Penguatan Implementasi Kebijakan SVLK


Penerapan Timber Legality Assurance System (TLAS) di Indonesia secara wajib (mandatory) melalui penerbitan Permenhut P.38/2009 jo P.68/2011 yang disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai salah satu instrument dalam perbaikan tata kelola kehutanan dan pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya. Sebagai instrumen untuk perbaikan tata-kelola hutan, maka SVLK harus teruji dan dapat dipertanggung-jawabkan pada semua pihak di dalam negeri dan internarional.

Pada prinsipnya SVLK bersifat compliance (pemenuhan) terhadap peraturan yang ada/berlaku sehingga menuntut tidak terjadinya “inconsistency” diantara peraturan-peraturan yang ada, baik peraturan dibidang Kehutanan maupun diluar Kehutanan. Aspek lain yang juga dituntut adalah terhindarnya pembebanan biaya besar pada pemegang izin.

Mengingat banyaknya peraturan perundangan yang dijadikan verifier di SVLK, oleh karena itu harus ada upaya-upaya penyelarasan terhadap peraturan tersebut. Dalam pleaksanaannya juga harus dibarengi dengan adanya sinergisitas dan koordinasi secara nyata oleh para pihak kunci yang terlibat SVLK untuk mewujudkan sistem SVLK yang kredible dan menciptakan kondisi yang kodusif bagi dunia usaha.

Di pihak pemerintah, penyelarasan dan perbaikan peraturan perundangan dilakukan oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian terkait seperti; Kementerian Perdagangan dan Perindustrian dalam rangka perbaikan birokrasi pelayanan dan juga memastikan adanya koordinasi antar Kementerian terkait dan pihak lainnya termasuk Pemerintah Daerah dapat berjalan secara nyata dan efektif dalam dan juga untuk mengakomodir terhindarnya biaya besar dalam implementasi SVLK.

Sebagai instrumen perbaikan tata-kelola hutan, sistem Penilaian Kinerja PHPL dan VLK yang dikembangkan melalui P.38/2009 jo P.68/2011 mengedepankan peran para pelaku usaha dan pihak independen sebagai pelaku langsung sistem tersebut. Sedangkan Pemerintah (Pusat dan Daerah) maupun Instansi Pemerintahan terkait berperan sebagai fasilitator dan regulator dari sistem ini. Oleh karena itu, sistem ini memberikan porsi tanggung-jawab dari semua pihak yang terlibat dalam alur SVLK dengan mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi.

Pertanyaan pentingnya adalah “Apakah penyelarasan peraturan perundangan terkait SVLK sudah dilakukan secara menyeluruh dan di jalankan  secara konsisten oleh para pihak yang berkepentingan dalam sistem ini?”.

Dalam implementasi SVLK tidaklah mudah, salah satu tantangan besarnya adalah bagaimana memastikan adanya dukungan dan keberterimaan semua pihak terhadap sistem ini untuk di jalankan secara konsisiten. Beberapa alasan mengapa dua hal tersebut merupakan tantangan sekaligus hambatan terbesar dalam pelaksanaan SVLK antara lain yaitu :

Pertama, penyelarasan peraturan perundangan terkait SVLK baru terfokus pada tingkat Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan dan Kementerian Terkait) dan belum mempertimbangkan peraturan terkait yang ada di Daerah.

Misalnya; Provinsi Kalimantan Barat memiliki Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pemanfaatan Dan Peredaran Kayu Belian Dalam Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Dalam kontek SVLK, Perda tersebut menjadi relevan untuk dijadikan sebagai salah satu verifier dalam Penilian Kinerja VLK.

Kedua, bagi Pemerintah Daerah dan lembaga terkait lainnya peran sebagai regulator dan fasilitator dalam SVLK adalah termasuk peran baru, kurangnya pemahaman dan kapasitas terhadap SVLK menimbulkan adanya perbedaan persepsi sehingga dalam pelaksanaannya terjadi “nir-koordinasi” karena kurang siap dan keberterimaan Pemerintah Daerah dan lembaga terkait dalam dalam menjalankan peran baru ini.

Assessment oleh Kemitraan di tiga Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Barat mendapati kesimpulan bahwa Pemerintah Daerah (c.q Dinas Kehutanan) dan Lembaga terkait seperti; Dinas PerindagKop dan UKM, Bappeda, Bea Cukai, Kepolisian Daerah secara umum belum memahami tentang SVLK. Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten Klaten dan Gunung Kidul Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta.

Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah, dimana sebagian besar pihak yang terkait dengan SVLK sudah cukup memahami kebijakan ini, akan tetapi kondisi ini belumlah mencerminkan adanya kesiapan dan keberterimaan para pihak tersebut dalam implementasi SVLK. Misalnya; kendala teknis yang dihadapi oleh Dinas Kehutanan adalah kurangnya ketersediaan dokumen SKAU sehingga dalam pelayanan justru menghambat peredaran kayu rakyat. Hal lain adalah adanya pandangan bahwa kebijakan SVLK dalam kontek hutan rakyat tidaklah relevan karena akan menjadi dis-insentif bagi upaya dalam mendukung pembangunan hutan rakyat di Wonosobo sebab konsekuensi dari sertifikasi ini diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk proses tersebut.

Dari paparan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa belum ada kesiapan dan keberterimaan dari Pemerintah Daerah dan Lembaga terkait dalam implemtasi SVLK, oleh karena itu menjadi penting untuk segera meningkatkan pemahaman dan kapasitas Pemerintah Daerah dan lembaga terkait dalam memainkan peran barunya ini.
  
Ketiga, di pihak pemegang izin kehutanan hal serupa juga terjadi yaitu belum menunjukan adanya kesiapan dan keberterimaan terhadap SVLK.

Yang dimaksud dengan pemegang izin sesuai Pasal 1 Ayat (1) P.68/2011, adalah pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR, IUPHHK-RE, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI atau TDI, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor.

Pasal 4 ayat (1) sampai (9) memandatkan kepada seluruh pemegang izin tersebut diatas untuk wajib mendapatkan S-PHPL dan atau S-LK.

Pasal 18
(1)   Terhadap IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, pemegang hak pengelolaan atau IUIPHHK diwajibkan untuk memiliki S-PHPL atau SLK selambat lambatnya 1 (satu) tahun terhitung sejak diberlakukannya Peraturan ini.
(2)   Terhadap IUI dan TDI, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor diwajibkan untuk memiliki S-LK selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak diberlakukannya Peraturan ini.

Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa serifikasi wajib ini tidak ada pembedaan pemberlakuan kepada semua pemegang izin untuk mengimplementasikannya dalam rentang waktu 1-2 tahun setelah peraturan ini ditetapkan.

Pertanyaannya adalah “bagaimana kepatuhan dari pemegang izin untuk memenuhi atau tunduk dan patuh terhadap pelaksanaan SVLK?”.

Di Indonesia paling tidak terdapat 295 unit IUPHHK-HA, 247 unit IUPHHK-HT/I, 4 unit IUPHHK-RE, 3.262 unit IUPHHK-HTHR dan 4000 unit Industri Perkayuan. Faktanya jumlah pemegang izin yang sudah mendapat S-PHPL dan S-LK kurang dari 15%[1], kondisi ini menunjukan bahwa SVLK belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para pemegang izin. Paling tidak ada dua faktor yang menjadi hambatan dan tantangan kenapa pemegang izin tersebut belum bisa mengimplementasikan SVLK yaitu;

a)     Kurang siapnya dan kapasitas yang memadai dari pemegang izin terutama Unit Manajemen Hutan skala kecil (Hutan Rakyat, HKm, Hutan Desa dan HTR) maupun industri skala kecil/rumah tangga (Small Medium Enterprise) dalam mengimplementasikan SVLK karena beberapa keterbatasan misalnya; kelemahan kapasitas personal, keterbatasan administratif dan sistem pengelolaan usaha, termasuk keterbatasan dana untuk menjalani proses audit verifikasi legalitas kayu.

b)     Adanya paradigma “SVLK   menimbulkan biaya mahal dan membebani pelaku usaha”. Konsekuensi dari adanya sertifikasi adalah munculnya pembiayaan diluar dari biaya wajib yang harus dikeluarkan oleh pemegang izin kehutanan, perlu diingat bahwa di Indonesia paling tidak ada 8[2] iuran yang dibebankan kepada pemegang izin di sektor kehutanan. Iuran ini cukup banyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti; Brazil,Bolivia, Costarica, Malaysia, China, Papua New Guinea yang rata-rata hanya mengenakan 1-3 iuran.

Walaupun sudah ada berkomitmen dari Pemerintah untuk memfasilitasi pemegang izin terkait pembiayaan yang ditimbulkan dari proses sertivikasi SVLK yang sifatnya wajib ini, akan tetapi Pemerintah sendiri sebenarnya tidak yakin dengan komitmenya tersebut (Pasal 7 dan 8, P.38/2009). Oleh karena itu, pembebanan biaya besar oleh pemegang izin dalam proses sertifikasi ini harus bisa dihindari karena tidaklah mudah untuk menyakinkan para pelaku usaha kalau biaya yang dikeluarkannya tersebut dimaknai sebagai investasi dan bukan sebagai biaya.

Keempat, SVLK sebagai instrumen perbaikan tata-kelola hutan maka prisip transparansi menjadi sangat penting, oleh karena itu sistem ini memberikan ruang peran kepada masyarakat sipil baik kelembagaan (CSO) maupun individu sebagai Pemantau Independen (PI)[3]. Untuk menjaga tingkat kredibilitas dan akuntabilitas dalam penilian sertifikasi PHPL dan VLK maka diperlukan adanya kontrol yang independen melalui pemantauan terhadap proses maupun hasil sertifikasi ini yang dilakukan oleh Pemantau Independen.

Akan tetapi, dalam prakteknya keberadaan Pemantau Independen tidak terlalu mendapat tempat dalam sistem ini terutama dalam hak[4] mengakses dokumen atau informasi publik yang diperlukan dalam kegiatan pemantauan. Walaupun sudah dibentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Lingkup Kementerian Kehutanan[5] yang merupakan mandat dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.7/Menhut-Ii/2011 Tentang Pelayanan Informasi Publik Di Lingkungan Kementerian Kehutanan. Secara substansi, informasi yang tersedia untuk publik yang diatur dalam peraturan tersebut belum sepenuhnya bisa mendukung kebutuhan informasi yang diperlukan oleh Pemantau Independen dalam menjalankan tugas pemantauan.

Kendala lain yang dihadapi adalah belum jelasnya mekanisme penyelesaian terhadap keluhan[6] yang disampaikan oleh Pemantau Independen kepada LPPHPL dan/atau LVLK atas proses dan/atau keputusan penilaian/verifikasi serta kinerja Pemegang Izin, Pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hutan Hak, atau kepada KAN atas proses dan/atau keputusan akreditasi terutama terkait pembentukan Tim Ad Hoc untuk Penyelesaian Keluhan.


[1] Data diolah dari berbagai sumber
[2] UU 41/199 Pasal 35 (iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana jaminan kinerja, dana investasi), PBB, PPh dan Penggantian Nilai Tegakan (PNT)
[3] Pasal 14 Ayat (1), P.68/2011
[4] Lampiran 4, Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011, huruf D, nomor 1, point (e)
[5] Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.50/Menhut-II/2011
[6] Lampiran 5, Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011