Penerapan Timber Legality Assurance System (TLAS) di
Indonesia secara wajib (mandatory)
melalui penerbitan Permenhut P.38/2009 jo P.68/2011 yang disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai salah satu instrument dalam
perbaikan tata kelola kehutanan dan pemberantasan
penebangan liar dan perdagangannya. Sebagai instrumen untuk
perbaikan tata-kelola hutan, maka SVLK harus teruji dan dapat
dipertanggung-jawabkan pada semua pihak di dalam negeri dan internarional.
Pada prinsipnya SVLK bersifat “compliance” (pemenuhan) terhadap peraturan yang ada/berlaku sehingga menuntut tidak
terjadinya “inconsistency” diantara peraturan-peraturan yang ada, baik
peraturan dibidang Kehutanan maupun diluar Kehutanan. Aspek lain yang juga dituntut
adalah terhindarnya pembebanan biaya
besar pada pemegang izin.
Mengingat
banyaknya peraturan perundangan yang dijadikan verifier di SVLK, oleh karena itu harus ada upaya-upaya penyelarasan terhadap peraturan
tersebut. Dalam pleaksanaannya juga harus dibarengi dengan adanya sinergisitas dan koordinasi
secara nyata oleh para pihak kunci yang terlibat SVLK untuk mewujudkan sistem SVLK yang kredible dan
menciptakan kondisi yang kodusif bagi dunia usaha.
Di pihak pemerintah, penyelarasan dan perbaikan peraturan perundangan dilakukan oleh Kementerian
Kehutanan dan Kementerian terkait seperti; Kementerian Perdagangan dan
Perindustrian dalam rangka perbaikan
birokrasi pelayanan dan juga memastikan
adanya koordinasi antar Kementerian terkait dan pihak lainnya termasuk
Pemerintah Daerah dapat berjalan secara nyata dan efektif dalam dan juga untuk
mengakomodir terhindarnya biaya besar dalam implementasi SVLK.
Sebagai instrumen perbaikan tata-kelola hutan, sistem
Penilaian Kinerja PHPL dan VLK yang dikembangkan melalui P.38/2009 jo P.68/2011 mengedepankan peran
para pelaku usaha dan pihak independen
sebagai pelaku langsung sistem
tersebut. Sedangkan Pemerintah (Pusat
dan Daerah) maupun Instansi
Pemerintahan terkait berperan
sebagai fasilitator dan regulator dari
sistem ini. Oleh karena itu, sistem ini memberikan porsi tanggung-jawab dari semua pihak
yang terlibat dalam alur SVLK dengan mengedepankan prinsip transparansi,
akuntabilitas dan partisipasi.
Pertanyaan pentingnya adalah “Apakah penyelarasan peraturan perundangan terkait SVLK sudah dilakukan secara
menyeluruh dan di jalankan secara
konsisten oleh para pihak yang berkepentingan dalam sistem ini?”.
Dalam
implementasi SVLK tidaklah mudah, salah satu tantangan besarnya
adalah bagaimana memastikan adanya
dukungan dan keberterimaan semua
pihak terhadap sistem ini untuk di jalankan secara konsisiten. Beberapa
alasan mengapa dua hal tersebut merupakan tantangan sekaligus hambatan terbesar
dalam pelaksanaan SVLK antara lain yaitu :
Pertama,
penyelarasan peraturan perundangan terkait SVLK baru terfokus pada tingkat Pemerintah Pusat
(Kementerian Kehutanan dan Kementerian Terkait) dan belum mempertimbangkan
peraturan terkait yang ada di Daerah.
Misalnya; Provinsi Kalimantan Barat memiliki Peraturan
Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pemanfaatan Dan Peredaran Kayu Belian Dalam
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Dalam kontek SVLK, Perda tersebut menjadi
relevan untuk dijadikan sebagai salah satu verifier
dalam Penilian Kinerja VLK.
Kedua, bagi
Pemerintah Daerah dan lembaga terkait lainnya peran sebagai regulator dan fasilitator dalam SVLK adalah termasuk peran
baru, kurangnya pemahaman dan kapasitas terhadap SVLK menimbulkan adanya
perbedaan persepsi sehingga dalam pelaksanaannya terjadi “nir-koordinasi” karena kurang
siap dan keberterimaan Pemerintah Daerah dan lembaga terkait dalam
dalam menjalankan peran baru ini.
Assessment oleh Kemitraan di tiga Kabupaten/Kota Provinsi
Kalimantan Barat mendapati kesimpulan bahwa Pemerintah Daerah
(c.q Dinas Kehutanan) dan Lembaga terkait seperti; Dinas PerindagKop dan UKM,
Bappeda, Bea Cukai, Kepolisian Daerah secara umum belum memahami tentang SVLK.
Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten Klaten dan Gunung Kidul Provinsi
Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta.
Kondisi berbeda terjadi di Kabupaten Wonosobo Provinsi
Jawa Tengah, dimana sebagian besar pihak yang terkait dengan SVLK sudah cukup
memahami kebijakan ini, akan tetapi kondisi ini belumlah mencerminkan adanya kesiapan dan keberterimaan para pihak tersebut dalam implementasi SVLK. Misalnya;
kendala teknis yang dihadapi oleh Dinas Kehutanan adalah kurangnya ketersediaan
dokumen SKAU sehingga dalam pelayanan justru menghambat peredaran kayu rakyat.
Hal lain adalah adanya pandangan bahwa kebijakan SVLK dalam kontek hutan rakyat
tidaklah relevan karena akan menjadi dis-insentif bagi upaya
dalam mendukung pembangunan hutan rakyat di Wonosobo sebab konsekuensi dari
sertifikasi ini diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk proses tersebut.
Dari paparan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa belum
ada kesiapan dan keberterimaan dari Pemerintah Daerah dan Lembaga terkait dalam
implemtasi SVLK, oleh karena itu menjadi penting untuk segera meningkatkan
pemahaman dan kapasitas Pemerintah Daerah dan lembaga terkait dalam memainkan
peran barunya ini.
Ketiga, di pihak pemegang izin kehutanan hal serupa juga terjadi
yaitu belum menunjukan adanya kesiapan dan keberterimaan terhadap SVLK.
Yang dimaksud dengan pemegang izin sesuai Pasal 1 Ayat
(1) P.68/2011, adalah pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT,
IUPHHK-HTR, IUPHHK-RE, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI
atau TDI, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor.
Pasal 4 ayat (1) sampai (9) memandatkan
kepada seluruh pemegang izin tersebut diatas untuk wajib mendapatkan S-PHPL dan atau S-LK.
Pasal 18
(1)
Terhadap IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE, pemegang hak pengelolaan atau
IUIPHHK diwajibkan untuk memiliki S-PHPL atau SLK selambat lambatnya 1 (satu)
tahun terhitung sejak diberlakukannya Peraturan ini.
(2)
Terhadap IUI dan TDI, termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang
ekspor diwajibkan untuk memiliki S-LK selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak diberlakukannya Peraturan ini.
Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa serifikasi
wajib ini tidak ada pembedaan pemberlakuan kepada semua pemegang izin untuk
mengimplementasikannya dalam rentang waktu 1-2 tahun setelah peraturan ini
ditetapkan.
Pertanyaannya adalah “bagaimana kepatuhan dari pemegang izin
untuk memenuhi atau tunduk dan patuh terhadap pelaksanaan SVLK?”.
Di Indonesia paling tidak terdapat 295 unit IUPHHK-HA, 247 unit
IUPHHK-HT/I, 4 unit IUPHHK-RE, 3.262 unit IUPHHK-HTHR dan 4000 unit Industri
Perkayuan. Faktanya jumlah pemegang izin yang sudah mendapat S-PHPL dan S-LK kurang dari 15%,
kondisi ini menunjukan bahwa SVLK belum sepenuhnya dilaksanakan oleh para
pemegang izin. Paling tidak ada dua faktor yang menjadi hambatan dan
tantangan kenapa pemegang izin tersebut belum bisa mengimplementasikan SVLK
yaitu;
a) Kurang siapnya dan kapasitas yang
memadai dari pemegang izin terutama Unit Manajemen Hutan skala kecil (Hutan
Rakyat, HKm, Hutan Desa dan HTR) maupun industri skala kecil/rumah tangga (Small Medium Enterprise) dalam
mengimplementasikan SVLK karena beberapa keterbatasan misalnya; kelemahan kapasitas personal, keterbatasan
administratif dan sistem pengelolaan usaha, termasuk keterbatasan dana untuk
menjalani proses audit verifikasi legalitas kayu.
b) Adanya paradigma “SVLK
menimbulkan biaya mahal dan membebani pelaku usaha”. Konsekuensi
dari adanya sertifikasi adalah munculnya pembiayaan diluar dari biaya wajib
yang harus dikeluarkan oleh pemegang izin kehutanan, perlu diingat bahwa di
Indonesia paling tidak ada 8
iuran yang dibebankan kepada pemegang izin di sektor kehutanan. Iuran ini cukup
banyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti; Brazil,Bolivia, Costarica, Malaysia, China, Papua
New Guinea yang rata-rata hanya mengenakan 1-3 iuran.
Walaupun sudah ada berkomitmen dari Pemerintah
untuk memfasilitasi pemegang izin terkait pembiayaan yang ditimbulkan dari
proses sertivikasi SVLK yang sifatnya wajib ini, akan tetapi Pemerintah sendiri
sebenarnya tidak yakin dengan komitmenya tersebut (Pasal 7 dan 8, P.38/2009). Oleh
karena itu, pembebanan biaya besar oleh pemegang izin dalam proses sertifikasi
ini harus bisa dihindari karena tidaklah mudah
untuk menyakinkan para pelaku usaha kalau biaya yang dikeluarkannya tersebut
dimaknai sebagai investasi dan bukan
sebagai biaya.
Keempat, SVLK sebagai instrumen perbaikan tata-kelola hutan maka
prisip transparansi menjadi sangat penting, oleh karena itu sistem ini
memberikan ruang peran kepada masyarakat sipil baik kelembagaan (CSO) maupun
individu sebagai Pemantau Independen (PI). Untuk
menjaga tingkat kredibilitas dan akuntabilitas dalam penilian sertifikasi PHPL
dan VLK maka diperlukan adanya kontrol yang independen melalui pemantauan
terhadap proses maupun hasil sertifikasi ini yang dilakukan oleh Pemantau
Independen.
Akan tetapi, dalam prakteknya keberadaan Pemantau Independen tidak terlalu mendapat tempat dalam sistem
ini terutama dalam hak mengakses dokumen atau
informasi publik yang diperlukan dalam kegiatan pemantauan. Walaupun sudah
dibentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Lingkup Kementerian
Kehutanan yang merupakan mandat dari
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.7/Menhut-Ii/2011
Tentang Pelayanan Informasi Publik Di Lingkungan Kementerian Kehutanan. Secara
substansi, informasi yang tersedia untuk publik yang diatur dalam peraturan
tersebut belum sepenuhnya bisa mendukung kebutuhan informasi yang diperlukan
oleh Pemantau Independen dalam menjalankan tugas pemantauan.
Kendala lain yang dihadapi adalah belum jelasnya mekanisme penyelesaian
terhadap keluhan
yang disampaikan oleh Pemantau Independen kepada LPPHPL
dan/atau LVLK atas proses dan/atau keputusan penilaian/verifikasi serta kinerja
Pemegang Izin, Pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hutan Hak, atau kepada
KAN atas proses dan/atau keputusan akreditasi terutama terkait pembentukan Tim
Ad Hoc untuk Penyelesaian Keluhan.